prolog
Setiap orang pasti akan
terjebak dalam titik jenuh, titik dimana orang-orang merasa bahwa dirinya putus
asa untuk sesaat..
“Khaira”
Aku duduk di
bangku meja belajar dalam sepinya suasana kamar, memandangi secarik foto yang
terpampang rapih di dalam bingkai berwarna biru muda.
Seorang pria
tampan, jangkung, berbahu bidang, berambut hitam di potong rapih membentuk
wajahnya, berkulit coklat santan dan gaya pakaiannya yang santai dengan celana
jeans panjang tidak ketat dan kaos berwarna putih yang berkerah sedang
tersenyum ramah ke arah kamera. Sosok yang selalu membuatku bertindak aneh dan
selalu membuatku tersenyum. Hmm, aku merindukannya..
1. Gerimis
Kau
mengingatkanku akan segala hal…
Rintik hujan gerimis menemaniku sekaligus menahanku sejenak untuk bergegas
pulang. Aku memutuskan untuk berteduh di kelas.
Sendiri? Ya, teman-temanku sudah lebih dulu pulang, rumah mereka tidak
jauh dari sekolah, dengan tidak mengandalkan payung pun mereka bisa berlari
kecil untuk pulang kerumah melawan hujan.
Sudah berapa lama aku berdiam mematung disini? Membiarkan kepala ini
berpangku dagu di atas lipatan kedua tangan, memandang keluar dibalik jendela
kelas. Dingin, aku mulai merasa kedinginan, napasku mulai terasa berat, pelupuk
mataku terasa panas, perlahan kupeluk tubuhku sendiri, dan mataku terpaku
melihat rintik air hujan membasahi jendela kelas.
###
Tanpa disadari, selama aku berdiam seperti ini, aku memikirkan sesuatu,
sesuatu yang membuat jantungku kadang berhenti untuk beberapa detik dan kadang bekerja
lebih cepat. Oh tuhan, perasaan apa lagi ini, semua ini membuatku menghabiskan
waktu luangku hanya untuk melamun, berkhayal dan mengingat..
Ternyata aku masih
mengingatnya…
###
Seulas senyum tersungging di bibirku ketika melihat sepasang murid yang
berjalan bersama menyusuri koridor kelas. Nyesek, haha satu kata itu yang
tiba-tiba meracuni pikiranku. sial! Apa
yang kamu pikirkan Khaira? makiku dalam hati. Mungkin aku berharap seperti
itu, berjalan bersama dikoridor sekolah, tapi itu hanya sekedar mimpi. Pikiranku
mulai kekanak-kanakan dan aneh.
“dor! Ngapain lo ngelamun disini?” ah! suara Vania mengagetkanku,
sekaligus membuatku malu karena mungkin betapa terlihat seperti orang bodohnya
aku diam sendiri di kelas kosong sore-sore seperti ini.
“aarrgghh, kaget tau!” makiku kesal dan pandanganku tetap terpaku
mengikuti arah jalan pasangan murid tadi.
Terlihat satu halis Vania terangkat heran, kerutan di dahinya mulai
terlihat. Dia mendesah sekilas dan menyunggingkan seulas senyum jail. “hmm,
ngapain sih lo masih disini? Udah sore gini juga.” Ucap Vania dengan nada basa
basi.
Aku diam sesaat, masih asik dengan pikiranku sendiri “lo sendiri ngapain
masih di sekolah? Kirain udah pulang” jawabku acuh tak acuh.
Hening sesaat.
“ tadi gue disuruh bantu bu Hasna beresin buku-buku di perpus, jadi
kepaksa deh pulang sore” jelasnya.
“rajin banget lo, dasar kuncen
perpus” tanggapku sedikit bercanda.
“yey, amal dikit kali. Hmm, gue tau lo ngapain disini, udah ga aneh banget
sih kalo liat lo sendiri ngegalau” ucap Vania setengah mengejek.
“apaan sih lo, lo kali yang suka
ngegalau” ejekku balik.
“enak aja. Udahlah Ra, ga usah diinget terus, dia mungkin ga akan balik”
speechless mendengar kalimat
Vania tadi. “ga akan balik” 3 kata
itu yang membayangi pikiranku.
“balik yuk ah, udah sore nih” ajak Vania dan aku bergegas berdiri tanda
mengiyakan ajakan Vania tanpa menjawabnya.
###
2. Lampu Kecil
Biarkanlah
aku membuat diriku sendiri merasa nyaman dengan hanya memandangmu…
Tubuhku mulai terasa menggigil, mungkin efek tadi terkena hujan gerimis
saat memaksakan untuk pulang ke rumah, jika tidak memaksakan untuk pulang, bisa
saja aku sampai malam diam di sekolah menunggu hujan reda.
Berendam air panas membuat tubuhku sedikit hangat dan nyaman, perlahan ku
baringkan tubuhku di atas kasur beralaskan selimut tebal yang hangat, hiasan
langit langit kamarku membuatku tenang, hiasan berupa lampu-lampu kecil yang
disusun rapih sedemikian rupa membentuk zigzag dari ujung sampai ujung. Suasana
kamarku remang-remang, lampu kamar kesukaanku mulai menghiasi pelataran
kamarku, aku menyukai saat-saat seperti ini, saat aku memejamkan mata dan
menenangkan diri.
###
3. Penjajah Kecil
Buatlah
aku selalu ceria dengan kehadiranmu…
Tok..tok..tok..
Suara ketukan
pintu kamar membangunkan tidurku, tanpa disadari, aku tertidur dalam keadaan
yang sangat tidak nyaman, dengan kaki tertekuk di samping kasur dan tubuh yang
terlentang.
“ya? Siapa?
Buka aja gak dikunci” teriakku dengan suara seadanya.
“Khaira? Kamu
udah tidur? Ga biasanya kamu tidur jam segini”ucap mama sambil membuka pintu
dan masuk ke kamar.
Aku memandang sekeliling kamarku, lupa sesaat
dimana jam dinding itu ditempelkan. Aku tersenyum geli ketika melihat jam
dinding yang menunjukan jam 7 malam.
“hehe, ya mah,
mungkin aku kecapekan, aku juga gak tau aku kapan tidur tadi, hehe.” Jawabku sambil
mencoba untuk bangun dari posisi tidurku tadi.
“dasar kamu.
Hmm, tuh papamu baru pulang dari kantor, bawa coklat panas kesukaan kamu. Cepet
tUrun ke bawah, nanti keburu habis sama Fino loh” ucap mama sambil merapihkan
seprai kasurku.
“Ka
Khaira!!!!, coklat panasnya buat Fino yaaa???” terdengar teriakan Fino adik
kecilku yang masih kelas 6 SD.
Mataku yang
tadi asalnya sipit setengah mengantuk, tiba-tiba langsung terbelalak ketika
mendengar suara teriakan tadi.
“Fino!!! Itu jatahku….punyaku…” aku langsung
berlari menuruni tangga menuju ke ruang tengah di bawah.
Tadi terlihat sekilas
wajah acuh tak acuh mama melihatku langsung berlari. Mungkin sudah terbiasa
melihatku memperebutkan sesuatu dengan penjajah kecilku.. Fino.
###
4. Telepon Malam
Sesuatu
yang mulai sedikit pudar dalam ingatan, ketika suatu saat mencoba mengingatnya
lagi, akan membuatnya kembali jelas…
“halo?” satu kata pertama yang aku dengar dari telepon yang sedang aku
genggam. Demi tuhan, dan demi apapun, suara itu…. Sungguh aku sangat
merindukannya, entah sudah berapa lama aku tidak mendengar suaranya, suara yang
aku anggap sangat lembut, sangat ramah dan sangat aku rindukan.
“ya? Ini siapa ya?” Itu pertanyaan bodoh yang tiba-tiba keluar dari
mulutku. Sebenarnya apa yang aku mau, aku mengenali suara itu, tapi kenapa
mulutku tiba-tiba bertanya seakan-akan aku tidak mengenalinya.
Hening sesaat, tidak ada suara sedikitpun dari sana, aku mulai cemas,
apakah pertanyaan aku tadi begitu mengecewakan, membuat dia tersinggung dan
membuat dia berfikir bahwa aku telah melupakannya?
“khaira, kamu masih inget suaraku?” suara lembut bahkan sangat lembut
mulai terdengar lagi. Pertanyaan itu membuat jemariku mencengkram lebih erat
telepon yang sedang aku genggam, berharap suara napas yang dari tadi mulai
sulit dikendalikan tidak terdengar sampai kesana.
“halo? Khaira?” oh tuhan, suara dia memanggil namaku sangat membuat detak
jantungku tidak beraturan.
“oh.. i..iyaa, ini Davin kan?” mataku terpejam, kerutan di keningku
mungkin mulai terlihat jelas, gugup, aku gugup dengan perasaan dan pikiranku
sendiri. Ayo Khaira, kenapa kamu
tiba-tiba seperti ini? Ucapku dalam hati.
“iya, hehe, ini aku Davin. Ternyata
kamu masih inget aku. Hmm, apa kabar Khaira?” suara Davin terdengar lucu dan
membuatku salting.
“hmm.. a.. aku… aku baik baik aja
ko. Kamu sendiri, a.. apa kabar?” sial, suaraku terdengar sangat gugup dan
salting, sampai kabel telepon tidak sengaja tertarik, serta teleponpun jatuh.
Dan tuuuuttt.. telepon terputus.
Mataku terbelalak terkejut menyadari sikapku tadi. Aku mulai merasa cemas.
Terdengar suara pintu terbuka dari atas.
“Khaira, apa itu? Ada apa? Sedang apa kamu?” Tanya papa setengah teriak
dari kamar atas. Aku panik, oh tuhan sungguh ini konyol.
“hmm, i..ini pah, telponnya ga sengaja ketarik sama Khaira” jawabku
mencoba tidak terdengar kaku.
“itu siapa yang menelpon?” Tanya papa tegas.
“temen pah, nanyain tugas” hmm, terpaksa aku berbohong, maaf pah..
“yasudah, cepat tidur, sudah malam” akhirnya papa percaya, seulas senyum
kusunggingkan
“iya papa” teriakku.
Kupasangkan kembali kabel telpon itu, aku masih berdiri menghadap telepon,
berharap telepon berdering lagi.
Sudah 10 menit berlalu, telpon masih belum berdering lagi. Kenapa tadi aku bertingkah bodoh? Sesalku
dalam hati.
###
5. Hari Jum’at
Hari
berganti hari begitu cepat…
Kejadian semalam masih membayangi pikiranku, kenapa aku semalam bertingkah
aneh seperti itu, dan sekarang aku baru menyesalinya, memang benar penyesalan
selalu datang terakhir.
Bel pulang sudah berbunyi, aku bergegas membereskan alat tulis dan buku
lalu memasukkannya ke dalam tas. Aku baru ingat kalo hari ini hari Jum’at, makanya
sekolah pulang lebih awal dari biasanya. Aku menarik tas gendongku dan
menyelempangkan satu talinya di pundak kananku, berjalan keluar kelas. Terlihat
sosok Vania di lapang sedang bersiap-siap untuk memulai latihan basket, aku
baru ingat kalo hari Jum’at adalah hari Vania latihan basket, ketika aku memutuskna untuk memanggilnya,
selintas pikirku menghentikan niatku ”lebih
baik aku menunggunya sampai selesai latihan, baru aku cerita “ ucapku dalam
hati.
###
Aku berjalan di samping lapangan menuju ke bangku penonton di sebrang
lapangan, Vania melihatku ketika dia sedang melakukan pemanasan dengan
teman-temannya untuk memulai latihan .
“hey Khaira, pulang bareng ya, tungguin gue sampe beres latihan” teriak
Vania dari tengah lapang. Aku hanya menganggukkan kepala tanda mengiyakan dan
Vania membalas dengan senyumnya yang membuat matanya sedikit dibuatnya sipit.
###
6. Sahabat
Sahabat
akan selalu ada disaat kita butuh atau tidak…
“sorry lama” ucap Vania sambil mengelap keringat di wajahnya dengan handuk
kecilnya.
“iya ga apa-apa, santai aja kali” balasku.
“lo kenapa? Tumben banget seorang Khaira ga ngambek gara-gara kelamaan
nunggu gue, haha”
“jadi lo mau gue ngambek? Hah?” tanyaku acuh masih asik dengan novelku.
“eh eh, jangan dong, ntar gue repot, hehe”
“hmm”
“eh, mumpung masih jam setengah tiga, ke timezone yuk ah, kita bersenang-senaaaang” ajak Vania ceria.
“males ah, gue lagi ga mood main. Lo aja sendiri. Lagian kita masih pake
seragam, ga boleh masuk tau”
“yaelah, ribet banget sih lo, pulang dulu aja napa. Sendiri? Lucu banget
gue main sendiri disana, ga asik lah. Temenin gue yuk?” bujuk Vania.
“ogah! Gue nungguin lo soalnya gue mau cerita, bukan buat ngasuh lo” ucapku sambil menutup novel
yang dari tadi aku baca.
Kening Vania berkerut, alisnya terangkat satu “cerita apaan nih? Udah lama
banget lo ga cerita ke gue”
“hmm, tentang…. semalem. Davin nelpon gue” aku memulai dengan kalimat itu.
Vania berdesah sesaat “hmm, udah gue kira, pasti lo cerita yang buat galau
diri lo sendiri. Mau ngapain dia telepon lo?” Tanya Vania.
“hmm, gue juga ga tau, malem gue salting, dan teleponnya terputus
gara-gara gue ga sengaja mutusin kabelnya. Dan dia ga telepon gue lagi. Gue
nyesel Van…
Diam sesaat..
“Khaira, lo sendiri yang bilang sama gue kalo lo mau lupain dia, tapi
buktinya lo sendiri yang suka ngungkit-ngungkit soal dia. Gue jadi bingung
sebagai sahabat lo Ra, gue juga ga mau liat lo terus-terusan gini. Kadang ceria
kadang pendiem”
“iya gue ngerti, tapi segimanapun gue mau lupain dia, tapi dia masih cowok
gue kan? Gue dan Davin belum putus. Lo tau itu?”
“gue tau, tapi buktinya kalian udah lama banget kan ga berhubungan? Dia
nerusin sekolah di German, dan semenjak kelas 2 SMA dia ga ngasih kabar lagi
kan sama lo? Dan sekarang lo udah kelas 3 SMA, tinggal beberapa bulan lagi lo
dan gue lulus. Mungkin dia udah lupain lo, atau apalah terserah. Gue kasian
sama lo, lo disini mikirin dia, belum tentu disana dia mikirin lo. Udahlah Ra,
biarin aja dia, mungkin juga dia udah nganggap hubungannya putus sama lo”
Aku terdiam sesaat, pelupuk mataku panas, aku masih terduduk kaku di atas
bangku lapangan dengan Vania di sampingku. Ucapan Vania mungkin kejam tapi ada
benarnya juga apa yang dia ucapkan tadi.
“ya, lo bener Van” jawabku singkat, tertunduk dan menyunggingkan seulas
senyum menghibur diri.
“maafin gue Ra, gue ga maksud buat memperburuk suasana hati lo, tapi
menurut gue gitu. Memang selama ini meskipun mengganggu pikiran lo, tapi gak
mengganggu prestasi belajar lo kan? Gue tau lo masih pinter buat ngatur-ngatur
pikiran lo, tapi gue ga tega aja kalo liat lo lagi kaya gini” ucap Vania
terdengar peduli.
“hehe, udah, ga apa-apa kali Van, thanks
ya sahabatkuuuu, lo emang selalu ada buat gue, semoga ga cuman buat sekarang
ya, semoga selamanya, amin” jawabku sedikit mencairkan suasana, dan berusaha
ceria.
“jalan-jalan aja yuk, ga usah ke timezone,
kita kuliner! Haha” ajakku sambil berdiri dan menarik tangannya.
Vania tersenyum dan beranjak berdiri “amin, gitu dong, haha yuk ah kita
kulineeer!!!”
###
0 komentar:
Posting Komentar