Sabtu, 01 September 2012

Waiting #part-1

Diposting oleh Hadini Qudsy di 23.58



prolog

Setiap orang pasti akan terjebak dalam titik jenuh, titik dimana orang-orang merasa bahwa dirinya putus asa untuk sesaat..
Entah sampai kapan aku akan bertahan, bertahan untuk menunggumu..
“Khaira”
Aku duduk di bangku meja belajar dalam sepinya suasana kamar, memandangi secarik foto yang terpampang rapih di dalam bingkai berwarna biru muda.
Seorang pria tampan, jangkung, berbahu bidang, berambut hitam di potong rapih membentuk wajahnya, berkulit coklat santan dan gaya pakaiannya yang santai dengan celana jeans panjang tidak ketat dan kaos berwarna putih yang berkerah sedang tersenyum ramah ke arah kamera. Sosok yang selalu membuatku bertindak aneh dan selalu membuatku tersenyum. Hmm, aku merindukannya..
1. Gerimis
Kau mengingatkanku akan segala hal…
Rintik hujan gerimis menemaniku sekaligus menahanku sejenak untuk bergegas pulang. Aku memutuskan untuk berteduh di kelas.
Sendiri? Ya, teman-temanku sudah lebih dulu pulang, rumah mereka tidak jauh dari sekolah, dengan tidak mengandalkan payung pun mereka bisa berlari kecil untuk pulang kerumah melawan hujan.
Sudah berapa lama aku berdiam mematung disini? Membiarkan kepala ini berpangku dagu di atas lipatan kedua tangan, memandang keluar dibalik jendela kelas. Dingin, aku mulai merasa kedinginan, napasku mulai terasa berat, pelupuk mataku terasa panas, perlahan kupeluk tubuhku sendiri, dan mataku terpaku melihat rintik air hujan membasahi jendela kelas.
###
Tanpa disadari, selama aku berdiam seperti ini, aku memikirkan sesuatu, sesuatu yang membuat jantungku kadang berhenti untuk beberapa detik dan kadang bekerja lebih cepat. Oh tuhan, perasaan apa lagi ini, semua ini membuatku menghabiskan waktu luangku hanya untuk melamun, berkhayal dan mengingat..
Ternyata aku masih mengingatnya…
###

Seulas senyum tersungging di bibirku ketika melihat sepasang murid yang berjalan bersama menyusuri koridor kelas. Nyesek, haha satu kata itu yang tiba-tiba meracuni pikiranku. sial! Apa yang kamu pikirkan Khaira? makiku dalam hati. Mungkin aku berharap seperti itu, berjalan bersama dikoridor sekolah, tapi itu hanya sekedar mimpi. Pikiranku mulai kekanak-kanakan dan aneh.

“dor! Ngapain lo ngelamun disini?” ah! suara Vania mengagetkanku, sekaligus membuatku malu karena mungkin betapa terlihat seperti orang bodohnya aku diam sendiri di kelas kosong sore-sore seperti ini.

“aarrgghh, kaget tau!” makiku kesal dan pandanganku tetap terpaku mengikuti arah jalan pasangan murid tadi.

Terlihat satu halis Vania terangkat heran, kerutan di dahinya mulai terlihat. Dia mendesah sekilas dan menyunggingkan seulas senyum jail. “hmm, ngapain sih lo masih disini? Udah sore gini juga.” Ucap Vania dengan nada basa basi.

Aku diam sesaat, masih asik dengan pikiranku sendiri “lo sendiri ngapain masih di sekolah? Kirain udah pulang” jawabku acuh tak acuh.

Hening sesaat.

“ tadi gue disuruh bantu bu Hasna beresin buku-buku di perpus, jadi kepaksa deh pulang sore” jelasnya.

“rajin banget lo, dasar kuncen perpus” tanggapku sedikit bercanda.

“yey, amal dikit kali. Hmm, gue tau lo ngapain disini, udah ga aneh banget sih kalo liat lo sendiri ngegalau” ucap Vania setengah mengejek.

 “apaan sih lo, lo kali yang suka ngegalau” ejekku balik.

“enak aja. Udahlah Ra, ga usah diinget terus, dia mungkin ga akan balik”
speechless mendengar kalimat Vania tadi. “ga akan balik” 3 kata itu yang membayangi pikiranku.

“balik yuk ah, udah sore nih” ajak Vania dan aku bergegas berdiri tanda mengiyakan ajakan Vania tanpa menjawabnya.
###
2. Lampu Kecil
Biarkanlah aku membuat diriku sendiri merasa nyaman dengan hanya memandangmu…
Tubuhku mulai terasa menggigil, mungkin efek tadi terkena hujan gerimis saat memaksakan untuk pulang ke rumah, jika tidak memaksakan untuk pulang, bisa saja aku sampai malam diam di sekolah menunggu hujan reda.

Berendam air panas membuat tubuhku sedikit hangat dan nyaman, perlahan ku baringkan tubuhku di atas kasur beralaskan selimut tebal yang hangat, hiasan langit langit kamarku membuatku tenang, hiasan berupa lampu-lampu kecil yang disusun rapih sedemikian rupa membentuk zigzag dari ujung sampai ujung. Suasana kamarku remang-remang, lampu kamar kesukaanku mulai menghiasi pelataran kamarku, aku menyukai saat-saat seperti ini, saat aku memejamkan mata dan menenangkan diri.
###

3. Penjajah Kecil
Buatlah aku selalu ceria dengan kehadiranmu…
Tok..tok..tok..
Suara ketukan pintu kamar membangunkan tidurku, tanpa disadari, aku tertidur dalam keadaan yang sangat tidak nyaman, dengan kaki tertekuk di samping kasur dan tubuh yang terlentang.

“ya? Siapa? Buka aja gak dikunci” teriakku dengan suara seadanya.

“Khaira? Kamu udah tidur? Ga biasanya kamu tidur jam segini”ucap mama sambil membuka pintu dan masuk ke kamar.

Aku memandang sekeliling kamarku, lupa sesaat dimana jam dinding itu ditempelkan. Aku tersenyum geli ketika melihat jam dinding yang menunjukan jam 7 malam.

“hehe, ya mah, mungkin aku kecapekan, aku juga gak tau aku kapan tidur tadi, hehe.” Jawabku sambil mencoba untuk bangun dari posisi tidurku tadi.

“dasar kamu. Hmm, tuh papamu baru pulang dari kantor, bawa coklat panas kesukaan kamu. Cepet tUrun ke bawah, nanti keburu habis sama Fino loh” ucap mama sambil merapihkan seprai kasurku.

“Ka Khaira!!!!, coklat panasnya buat Fino yaaa???” terdengar teriakan Fino adik kecilku yang masih kelas 6 SD.

Mataku yang tadi asalnya sipit setengah mengantuk, tiba-tiba langsung terbelalak ketika mendengar suara teriakan tadi.

“Fino!!! Itu jatahku….punyaku…” aku langsung berlari menuruni tangga menuju ke ruang tengah di bawah. 

Tadi terlihat sekilas wajah acuh tak acuh mama melihatku langsung berlari. Mungkin sudah terbiasa melihatku memperebutkan sesuatu dengan penjajah kecilku.. Fino.
###


4. Telepon Malam
Sesuatu yang mulai sedikit pudar dalam ingatan, ketika suatu saat mencoba mengingatnya lagi, akan membuatnya kembali jelas…
“halo?” satu kata pertama yang aku dengar dari telepon yang sedang aku genggam. Demi tuhan, dan demi apapun, suara itu…. Sungguh aku sangat merindukannya, entah sudah berapa lama aku tidak mendengar suaranya, suara yang aku anggap sangat lembut, sangat ramah dan sangat aku rindukan.

“ya? Ini siapa ya?” Itu pertanyaan bodoh yang tiba-tiba keluar dari mulutku. Sebenarnya apa yang aku mau, aku mengenali suara itu, tapi kenapa mulutku tiba-tiba bertanya seakan-akan aku tidak mengenalinya.

Hening sesaat, tidak ada suara sedikitpun dari sana, aku mulai cemas, apakah pertanyaan aku tadi begitu mengecewakan, membuat dia tersinggung dan membuat dia berfikir bahwa aku telah melupakannya?

“khaira, kamu masih inget suaraku?” suara lembut bahkan sangat lembut mulai terdengar lagi. Pertanyaan itu membuat jemariku mencengkram lebih erat telepon yang sedang aku genggam, berharap suara napas yang dari tadi mulai sulit dikendalikan tidak terdengar sampai kesana.

“halo? Khaira?” oh tuhan, suara dia memanggil namaku sangat membuat detak jantungku tidak beraturan.

“oh.. i..iyaa, ini Davin kan?” mataku terpejam, kerutan di keningku mungkin mulai terlihat jelas, gugup, aku gugup dengan perasaan dan pikiranku sendiri. Ayo Khaira, kenapa kamu tiba-tiba seperti ini? Ucapku dalam hati.

“iya, hehe, ini aku Davin. Ternyata kamu masih inget aku. Hmm, apa kabar Khaira?” suara Davin terdengar lucu dan membuatku salting.

“hmm.. a.. aku… aku baik baik aja ko. Kamu sendiri, a.. apa kabar?” sial, suaraku terdengar sangat gugup dan salting, sampai kabel telepon tidak sengaja tertarik, serta teleponpun jatuh. Dan tuuuuttt.. telepon terputus.

Mataku terbelalak terkejut menyadari sikapku tadi. Aku mulai merasa cemas. Terdengar suara pintu terbuka dari atas.

“Khaira, apa itu? Ada apa? Sedang apa kamu?” Tanya papa setengah teriak dari kamar atas. Aku panik, oh tuhan sungguh ini konyol.

“hmm, i..ini pah, telponnya ga sengaja ketarik sama Khaira” jawabku mencoba tidak terdengar kaku.

“itu siapa yang menelpon?” Tanya papa tegas.

“temen pah, nanyain tugas” hmm, terpaksa aku berbohong, maaf pah..

“yasudah, cepat tidur, sudah malam” akhirnya papa percaya, seulas senyum kusunggingkan

“iya papa” teriakku.

Kupasangkan kembali kabel telpon itu, aku masih berdiri menghadap telepon, berharap telepon berdering lagi.

Sudah 10 menit berlalu, telpon masih belum berdering lagi. Kenapa tadi aku bertingkah bodoh? Sesalku dalam hati.
###

5. Hari Jum’at
Hari berganti hari begitu cepat…
Kejadian semalam masih membayangi pikiranku, kenapa aku semalam bertingkah aneh seperti itu, dan sekarang aku baru menyesalinya, memang benar penyesalan selalu datang terakhir.
Bel pulang sudah berbunyi, aku bergegas membereskan alat tulis dan buku lalu memasukkannya ke dalam tas. Aku baru ingat kalo hari ini hari Jum’at, makanya sekolah pulang lebih awal dari biasanya. Aku menarik tas gendongku dan menyelempangkan satu talinya di pundak kananku, berjalan keluar kelas. Terlihat sosok Vania di lapang sedang bersiap-siap untuk memulai latihan basket, aku baru ingat kalo hari Jum’at adalah hari Vania latihan basket,  ketika aku memutuskna untuk memanggilnya, selintas pikirku menghentikan niatku ”lebih baik aku menunggunya sampai selesai latihan, baru aku cerita “ ucapku dalam hati.
###
Aku berjalan di samping lapangan menuju ke bangku penonton di sebrang lapangan, Vania melihatku ketika dia sedang melakukan pemanasan dengan teman-temannya untuk memulai latihan .

“hey Khaira, pulang bareng ya, tungguin gue sampe beres latihan” teriak Vania dari tengah lapang. Aku hanya menganggukkan kepala tanda mengiyakan dan Vania membalas dengan senyumnya yang membuat matanya sedikit dibuatnya sipit.
###

6. Sahabat
Sahabat akan selalu ada disaat kita butuh atau tidak…
“sorry lama” ucap Vania sambil mengelap keringat di wajahnya dengan handuk kecilnya.

“iya ga apa-apa, santai aja kali” balasku.

“lo kenapa? Tumben banget seorang Khaira ga ngambek gara-gara kelamaan nunggu gue, haha”

“jadi lo mau gue ngambek? Hah?” tanyaku acuh masih asik dengan novelku.

“eh eh, jangan dong, ntar gue repot, hehe”

“hmm”

“eh, mumpung masih jam setengah tiga, ke timezone yuk ah, kita bersenang-senaaaang” ajak Vania ceria.

“males ah, gue lagi ga mood main. Lo aja sendiri. Lagian kita masih pake seragam, ga boleh masuk tau”

“yaelah, ribet banget sih lo, pulang dulu aja napa. Sendiri? Lucu banget gue main sendiri disana, ga asik lah. Temenin gue yuk?” bujuk Vania.

“ogah! Gue nungguin lo soalnya gue mau cerita, bukan buat ngasuh lo” ucapku sambil menutup novel yang dari tadi aku baca.

Kening Vania berkerut, alisnya terangkat satu “cerita apaan nih? Udah lama banget lo ga cerita ke gue”

“hmm, tentang…. semalem. Davin nelpon gue” aku memulai dengan kalimat itu.

Vania berdesah sesaat “hmm, udah gue kira, pasti lo cerita yang buat galau diri lo sendiri. Mau ngapain dia telepon lo?” Tanya Vania.

“hmm, gue juga ga tau, malem gue salting, dan teleponnya terputus gara-gara gue ga sengaja mutusin kabelnya. Dan dia ga telepon gue lagi. Gue nyesel Van…

Diam sesaat..

“Khaira, lo sendiri yang bilang sama gue kalo lo mau lupain dia, tapi buktinya lo sendiri yang suka ngungkit-ngungkit soal dia. Gue jadi bingung sebagai sahabat lo Ra, gue juga ga mau liat lo terus-terusan gini. Kadang ceria kadang pendiem”

“iya gue ngerti, tapi segimanapun gue mau lupain dia, tapi dia masih cowok gue kan? Gue dan Davin belum putus. Lo tau itu?”

“gue tau, tapi buktinya kalian udah lama banget kan ga berhubungan? Dia nerusin sekolah di German, dan semenjak kelas 2 SMA dia ga ngasih kabar lagi kan sama lo? Dan sekarang lo udah kelas 3 SMA, tinggal beberapa bulan lagi lo dan gue lulus. Mungkin dia udah lupain lo, atau apalah terserah. Gue kasian sama lo, lo disini mikirin dia, belum tentu disana dia mikirin lo. Udahlah Ra, biarin aja dia, mungkin juga dia udah nganggap hubungannya putus sama lo”

Aku terdiam sesaat, pelupuk mataku panas, aku masih terduduk kaku di atas bangku lapangan dengan Vania di sampingku. Ucapan Vania mungkin kejam tapi ada benarnya juga apa yang dia ucapkan tadi.

“ya, lo bener Van” jawabku singkat, tertunduk dan menyunggingkan seulas senyum menghibur diri.

“maafin gue Ra, gue ga maksud buat memperburuk suasana hati lo, tapi menurut gue gitu. Memang selama ini meskipun mengganggu pikiran lo, tapi gak mengganggu prestasi belajar lo kan? Gue tau lo masih pinter buat ngatur-ngatur pikiran lo, tapi gue ga tega aja kalo liat lo lagi kaya gini” ucap Vania terdengar peduli.

“hehe, udah, ga apa-apa kali Van, thanks ya sahabatkuuuu, lo emang selalu ada buat gue, semoga ga cuman buat sekarang ya, semoga selamanya, amin” jawabku sedikit mencairkan suasana, dan berusaha ceria. 

“jalan-jalan aja yuk, ga usah ke timezone, kita kuliner! Haha” ajakku sambil berdiri dan menarik tangannya.
Vania tersenyum dan beranjak berdiri “amin, gitu dong, haha yuk ah kita kulineeer!!!”
###


0 komentar:

Posting Komentar

 

story♥☮ Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting