Triiing.. tring...(suara dering bel sepeda) “Dion.. Dion..
ayo keluar, kita main sepeda, mumpung masih pagi nih, Dion….” Suara gadis kecil
itu terdengar nyaring memanggil temannya sambil celingak-celinguk melihat-lihat
pintu rumah dari luar pagar dan berharap pintu itu akan segera terbuka.
Sesaat kemudian, terlihat seulas senyum di bibir gadis itu,
dia melihat ada seorang wanita yang cantik, sepertinya usianya baru 30 tahun.
“Hellen, mau ketemu Dion ya? Ayo sini masuk, Dionnya ada di kamar” ucap wanita
itu. Wanita itu bernama Rita. “iya tante, Hellen mau ngajak Dion main sepeda”
jawab gadis kecil itu ceria. Nama gadis itu Hellen Adyanita Sifliya, dia sering
di panggil Hellen. Dia adalah anak tunggal. Gadis kecil itu selalu terlihat
ceria, badannya mungil tapi berisi dan tidak terlalu tinggi, panjang rambutnya
sebahu dan berponi, rambutnya selalu di ikat dua. Umurnya masih 10 tahun, dan
sekarang dia sekolah kelas 4 SD.
“ayo sini, Hellennya masuk saja, sepedanya di parkir di
taman ya..” ucap tante Rita. “iya tante” jawab gadis kecil itu sambil tersenyum
lebar.
“Hey Dion Akbar Hafrizia, sedang apa kamu melamun
memandangi luar jendela seperti itu?” Tanya Hellen ketika membuka pintu kamar
dan melihat Dion sedang duduk di sofa dekat jendela kamarnya, Dion duduk dan
dagunya ia simpan di atas tumpukan tanggan yang ia simpan di jendela.
Dion tidak menjawab pertanyaan Hellen. “Dion?” panggil
Hellen dengan nada seperti kebingungan. “hmm..” jawab Dion singkat. “kenapa
kamu? Kamu sakit? Atau-- baru di marahin mamah kamu? Hihi, ayo ngakuuuu”
pertanyaan gadis kecil itu terdengar penasaran dan merayu. “enggak ko, sok tau
kamu!” jawab Dion jengkel. Hellen kebingungan dengan sikap Dion yang tidak
biasa seperti ini. Dion memang anak yang cuek, tapi dia termasuk anak yang
cukup ceria. Anak laki-laki ini bertubuh cukup tinggi, tingginya sedikit
melebihi tinggi Hellen. Rambutnya selalu di potong rapih dengan poninya di buat
sedikit berjambul. Dia masih kelas 5 SD dan baru berumur 11 tahun, setahun
lebih tua dari pada Hellen. Tapi karena rumah mereka berdekatan dan orang tua
merekapun saling kenal dekat, maka dari itu mereka sering bermain bersama dan
merekapun bersekolah di satu sekolah yang sama.
“Dion, kamu kenapaaaa?” Tanya Hellen sambil menarik-narik baju
Dion dari belakang. “Daripada kamu diam seperti ini, mendingan main sepeda yuk,
sekarang kan hari Minggu, di luar juga lagi cerah loh, ayo ayo kita maiiiiin…”
ajak Hellen manja. “gak mau, aku ga mau main sama kamu lagi” jawab Dion sambil
tetap memandang ke luar jendela kamar. Hellen pun bingung mendengar jawaban
Dion, dia sedikit merasa sedih karena Dion tidak mau lagi bermain dengannya.
“kenapa kamu gak mau main sama aku lagi? Kamu marah ya sama aku? Marah kenapa?”
Tanya Hellen murung. “kamu banyak nanya, aku gak mau main sama kamu lagi,
soalnya bentar lagi juga kamu mau ninggalin aku” jawab Dion masih dalam keadaan
membelakangi Hellen. “maksud kamu apa Dion? Aku mau ninggalin kamu? Ninggalin
kemana? Ke bulan biar bisa ketemu alien? Hahaha” jawab Hellen bercanda. Dion
berbalik menghadap Hellen dengan tangan di lipat “gak lucu tau. Kamu jahat,
katanya kita bakalan terus barengan sampai kita gede, tapi sekarang kamu mau
ninggalin aku gitu aja. Kamu boong!” kerutan mulai terlihat di dahi Hellen,
Hellen tetap tidak mengerti apa yang Dion katakan. Ninggalin? Jahat? Boong? Apa
maksudnya? “aku gak ngerti Dion” jawab Hellen mulai terlihat sedih. Hellen
terduduk di lantai yang beralaskan karpet tebal berbentuk bulat lebar berwarna
Biru. Hellen menengadah melihat Dion yang duduk di sofa berwarna putih tadi.
“kamu beneran gak tau apa yang aku maksud?” Tanya Dion. Hellen hanya mengangguk
dan memandang Dion dengan murung dan kebingungan. “tadi pagi sebelum kamu
datang, mamah kamu dateng kesini ngobrol sama mamah aku, aku denger katanya
kamu mau pindah rumah ke Jakarta. Itu artinya kamu bakalan tinggalin aku
Hellen” kata Dion menjelaskan. Hellen diam kebingungan “hah? Aku gak tau
tentang itu. Hmm, memangnya kalau aku tinggalin kamu kenapa? Kamu bakalan
kangen yaaa? Ngaku loh!!” rayu Hellen. Terlihat wajah Dion merah dan halisnya
terangkat satu, entah itu artinya kaget atau gugup atau salting. “ih, enggak,
biasa aja. GR banget kamu. Ngarep!” jawab Dion jengkel sambil membuang muka
sedikit salting. “terus, kenapa tadi kamu kayak yang ngambek gitu? Ngaku aja
dong, huuu” ledek Hellen. “hmm, tadi—tadi aku ya kesel aja, kamu gak
bilang-bilang sama aku” jawab Dion semakin salting. Hellen melipat kedua
tangannya dan membuang muka dari Dion sambil memasang muka jutek “oh, yaudah
kalau kamu gak mau ngaku, aku mau pergi jauh ninggalin kamu dan kita gak akan
main lagi” ucap Hellen kesal. Dion melihat Hellen yang membuang muka dan
cemberut memasang muka ngambek, Dion menutup mukanya salting “jangan, nanti aku
main sama siapa kalau kamu gak ada—“ jawab Dion malu-malu sambil menutup
mukanya. Dengan keadaan masih memasang muka ngambek dan tanpa melihat Dion
Hellen menjawab “main aja tuh sama boneka-boneka kamu” Dion paling malu kalo
dia disindir suka main sama boneka-boneka yang ada di kamarnya, mamahnya yang
menyimpan boneka-boneka itu sebagai hiasan kamar. Dion sangat malu dan kenapa
mesti boneka bukan robot atau mobil. “udah, jangan bawa-bawa boneka” jawab Dion
kesal dan malu.
“jadi kamu mau pindah kapan ke Jakarta? Kamu bakalan balik
lagi ke Jogja?” Tanya Dion penasaran. “aku gak tau Dion, aku aja tau ini baru
dari kamu tadi. Yaudah, sekarang kita main sepeda dulu aja. Kamu bonceng aku
ya? Aku simpen dulu sepeda aku, aku mau di bonceng pake sepeda ontel kamu”
terlihat senyum ceria di wajah gadis kecil itu dan juga anak laki-laki itu.
“Mah, kita bakalan pindah ke Jakarta ya?” Tanya Hellen
sambil mengunyah makanan sarapannya. Mamahnya yang sedang mengolesi selai
coklat di atas roti untuk dirinya diam sesaat memandangi Hellen dan Papah Hellen.
Papah Hellen pun berhenti mengunyah sesaat memandangi Hellen. Kemudian keduanya
melanjutkan kembali kegiatan yang tertunda tadi “hmm, kamu tau dari siapa?”
Tanya mamahnya. Papah hanya terdiam sibuk sendiri mengunyah makanannya. “aku
tadi tau dari Dion, katanya tadi mamah ke rumahnya ngobrol sama mamahnya Dion
dan bilang kita mau pindah ke Jakarta. Kapan Mah? Kapan Pah?” Tanya Hellen
melihat ke arah mamah dan papahnya. “tapi Hellen ga mau pindah, Hellen tetep
mau tinggal di Jogja aja biar Hellen tetep bisa main sepeda barengan Dion”
lanjut Hellen tanpa menunggu jawaban mamah dan papahnya. “iya sayang, kita mau
pindah ke Jakarta. Papah kamu pindah tugas kesana, lagian masih lama kok” jawab
mamah lembut. “iya Hellen, masih lama, kita pindah kira-kira ketika kamu mau
naik kelas 5” jawab papah menambahkan. Helen cepat-cepat mengbabiskan rotinya
dan meminum susunya habis. “tapi, kalo kita pindah ke Jakarta, nanti Hellen ke
sekolahnya bisa naik sepeda gak pah?” Tanya Helen polos. “bisa dong sayang, kan
sepeda kamu juga pasti bi bawa, semua barang kita bawa pindah” jelas papah.
Wajah Hellen mulai terlihat murung, sepertinya gadis itu mulai sedih “tapi—tapi
Hellen gak mau jauh dari Dion, nanti gak ada lagi yang bonceng Hellen naik
sepeda ontel kalo Hellen capek naik sepeda Hellen. Hellen mau barengan sama
Dion mamah, Hellen cuman punya temen deket Dion” jelas Hellen sambil memelas.
“nanti juga di Jakarta kamu bakalan nemu temen baru. Mungkin nanti juga
sekali-kali kita bakalan mengunjungi Jogja kalau lagi musim liburan, iya kan
sayang?” bujuk mamah lembut. Hellen diam sesat, tidak bisa berbicara apa-apa
lagi, dia masih terduduk di kursi meja makan sambil melipat tangan kirinya di
atas meja makan dan menidurkan kepala di atas tangan kirinya, tatapan polosnya
memandangi telunjuk kecilnya yang sedang nengitari mulut gelas bekas susu yang
dia minum tadi.
“Dion,kamu tau gak?” Tanya Hellen sambil duduk
mengayun-ayun kakinya memandangi air mancur di depan kursi taman yang mereka
duduki. “tau apa?” jawab Dion singkat. “aku seneng banget main sama kamu. Kamu
seneng gak main sama aku?” Tanya Hellen polos. “ya, aku juga seneng kok” jawab
Dion. “apa lagi kalo kita lagi main sepeda, kita jalan-jalan naik sepeda
keliling-keliling perumahan. Seru ya? Aku suka banget sama sepeda ontel kamu”
lanjut Hellen dengan nada ceria. “ya, tapi bentar lagi kita gak bisa main
bareng, kamu mau pindah. Aku nanti main sama siapa dong?” jawab Dion. “iya, aku
tau kok, hehe. Tapi tenang aja, nanti kita bakalan ketemu lagi, iya kan?” Tanya
Hellen menghibur. “iya, semoga” jawab Dion dengan seulas senyum yang
dipaksakan.
“Dion, pelan-pelan bawa sepedanya, jangan ngebut-ngebut,
aku takut!!!” teriak Hellen setengah panik ketika di bonceng Dion di sore itu.
“tenang aja, kamu pegangan ya…” Hellen terlihat sangat ketakutan dan memejamkan
mata sambil memegang baju Dion sangat erat dari belakangnya. “KITA MAU KEMANA--?”Tanya
Hellen berteriak. “ikut aja, jangan bawel” jawab Dion setengah melihat kearah
Hellen.
“waaah, bagus banget…” Hellen terkejut dan senang ketika
Dion mengajaknya ke sebuah danau yang airnya terlihat sangat jernih, dipinggir
danau itu ada setengah jembatan yang terbuat dari kayu, jembatan itu terlihat
mulai sedikit tua tapi masih kokoh. Di pinggir danau kecil itu juga di
kelilingi pohon-pohon yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rimbun.
“Hellen, kamu baru tau tempat ini?” Tanya Dion. “iya, aku baru tau, disini
bagus ya, sejuk banget, aku suka. Lihat itu, ada jembatan, ayo kita kesana.”
Ajak Hellen dan segera berjalan menuju danau. Dion mengikutinya dari belakang
sambil menuntun sepeda ontelnya itu.
“Dion, besok kita bakalan di bagi rapor ya?” Tanya Hellen
sambil duduk di jembatan dengan mengayun-ngayun kakinya di atas air danau yang
jernih itu. “ya, dan itu tandanya kamu bentar lagi pindah ke Jakarta” jawab
Dion datar. “Dion, makasih ya kamu udah baik banget mau main sama aku, mau
bonceng aku naik sepeda ontel kamu, hehe. Aku seneng bisa main sama kamu” kata
Hellen tersenyum. “aku juga seneng” jawab Dion masih dengan berdiri memegang
sepedanya di belakang Hellen.
Keesokan harinya ketika Dion terbangun dari tidurnya, dia
melihat keluar jendela, terlihat hari sudah mulai siang, hari ini hari Sabtu
tanggal 4 Mei tahun 2006. Jam dinding kamar sudah mununjukkan pukul 06:30.
Tepat pukul 07:30 dia harus sudah di sekolah, dia akan menerima laporan hasil
belajarnya selama duduk di kelas 5 SD. Dia bergegas untuk berisiap-siap
berangkat sekolah, mandi, sarapan, dan berangkat.
“Mah, Dion berangkat dulu ya..” ucap Dion sebelum
berangkat. “oh iya, hari ini kamu di bagi rapor ya sayang? Perlu mamah yang
mengambilnya?” Tanya mamah Dion. “gak usah mah, biar sama Dion aja”. Jawab
Dion. “ya sudah, hati-hati ya..” pesan Mamah. “iya—“
Dion bergegas pergi keluar, kendaraan menuju sekolah adalah
sepeda ontel kesayangannya. Dia berlari kecil keluar rumah dan berniat untuk
berangkat bersama Hellen dan tentu memboncengnya, itu kebiasaan Hellen, selalu
ingin di bonjceng ketika berangkat sekolah. Dion melihat sepeda ontelnya sudah
terparkir di taman, menunggu untuk dia kendarai. Perasaan dia mulai tidak enak,
Dia melihat sekeliling rumahnya dan diam,”sudahlah,
ini hanya perasaanku saja” ucap dia dalam hati. Dia memegang sepedanya dan
mengangkat standar sepedanya, ada segulung kertas terjatuh dari sepeda
ontelnya, ternyata tanpa Dion sadari gulungan kertas pink itu telah terselip di
sepeda ontel itu. Dion melihat gulungan kertas pink itu jatuh, dia melihatnya
dengan tatapan kebingungan, kemudian mengambilnya dan membukanya.
Dalam gulungan kertas tertulis tulisan anak-anak yang
lumayan rapih, dan bertuliskan:
“untuk Dion.“
“Dion, aku tau kamu pasti belum bangun kalo aku ke rumah kamu
jam 4 pagi. Jadi aku buat surat aja ya buat kamu. Hari ini aku harus berangkat
ke Jakarta untuk pindah yang aku juga ga tau sampai kapan. Maaf aku gak bilang
dari kemarin-kemarin ya, aku gak mau kamu marah sama aku, sekarang juga kamu
pasti marah kan sama aku? Aku udah ngambil rapor aku kok dari kemarin. Tadi
pagi aku sama mamah papahku ke rumah kamu buat pamit, tapi kamu masih tidur. Tante
Rita asalnya mau bangunin kamu, tapi kata aku jangan, nanti Dion marah. Hehe.
Dion, meskipun kita jauh, nanti aku janji bakalan main lagi
ke Jogja, main bareng naik sepeda ontel kamu, aku tau
kamu berangkat ke sekolah bakalan naik sepeda, makanya aku selipin suratnya di sepeda
kamu, hehe.
Aku pamitan ya, kamu jangan nakal kalo gak ada aku, hehe.”
Salam manis
Hellen : )
Seketika
terlihat selaput air mulai terlihat di mata Dion, dia berlari sambil
menggenggam gulungan kertas pink tadi, meninggalkan sepeda ontelnya dan menuju
ke rumah Hellen yang letaknya terhalang satu rumah dari rumahnya. Rumah Hellen
sudah di depan mata, tatapan sedih, marah dan polos terlihat jelas mewarnai
wajahnya, dia melihat rumah itu terlihat bersih tapi sepi, kosong, sudah tidak
berpenghuni, dia mencoba memanggil Hellen, berharap masih bisa melihatnya walau
untuk yang terakhir “Helleeen--, Helen!!” suara itu terdengar mulai melemah,
dia menangis, menangis entah karena kehilangan sahabat atau marah karena
sahabatnya pergi tanpa pamit.
Dia
bertengadah, mencoba berdiri, mencoba kuat dan menerima kenyataan, meskipun dia
berteriak sekencang-kencangnya memanggil Hellen, itu semua percuma, tidak akan ada
Hellen lagi, tidak ada Hellen yang selalu membuat Dion jengkel dan-- tersenyum
ceria.
Dia
berjalan perlahan ke rumah, membuka pintu gerbang kayunya, mamahnya sudah
berdiri di depan pintu, Dion melihatnya dengan wajah yang sangat terlihat dalam
keadaan sedih. “Dion, darimana kamu?” Tanya mamahnya dengan nada bingung. “dari
rumah Hellen mah” jawab Dion lemas. “Hellen sudah pindah, tadi pagi dia datang
kesini, pamitan, tapi kamu masih tertidur” ucap mamah. “ya, Dion tau, tadi dia
menyelipkan gulungan kertas ini di ontel Dion” dia mengacungkan gulungan kertas
tadi sambil menaiki sepedanya, memasukan kertas itu ke dalam tasnya. “Dion
berangkat sekolah ya mah” lanjut Dion sambil mengeluarkan sepeda dari halaman
rumah. “ya, hati-hati ya. Kamu baik-baik saja kan nak?” ucap mamah dengan nada
terdengar khawatir karena melihat anaknya dalam keadaan tidak bersemangat.
“tentu—“ jawab Dion singkat.
Dion
mengayuh sepedanya menuju sekolah, sepanjang jalan, terlihat kesedihan di
wajahnya, hari-hari yang biasanya di warnai dengan keceriaan bersama Hellen,
sekarang entah bagaimana keadaannya. Dion bahkan tidak tau, kapan dia akan
bertemu lagi dengan Hellen, dan mungkinkah mereka akan bertemu.
“Hellen, aku gak marah kok sama kamu, cuman,
kenapa kamu gak pamit langsung aja sama aku? Kamu tau gak? Aku sedih kamu
ninggalin aku, tapi aku berharap, kita bisa ketemu lagi ya, dan kita bisa naik sepeda
ontel lagi ” ucap Dion
dalam hati dan memaksakan seulas senyum di bibirnya. Dion ingat, Hellen pernah
bilang, kalo Hellen ga mau lihat Dion cemberut, lihat Dion sedih, soalnya kalau
kaya gitu, Dion kelihatan jelek. Ya, Dion ingat kata-kata itu. Dan diapun
tersenyum walau hatinya masih merasa sedih.
Perjalanan menuju bandara sedang
Hellen tempuh bersama keluaga kecilnya, sepanjang jalan, di mobil Hellen tidak
terlihat bersedih, meskipun dalam hatinya dia sedih, dia orang yang ceria,
tidak mau menampakkan kesedihannya di depan orang, dia mencoba selalu ceria
meskipun sesekali terlihat murung.
Dalam hati
dia berbicara dengan senyuman terpancar di bibirnya “Dion, maafin aku ya, aku pergi gak pamit dulu, bukannya aku gamau kita
ketemu dulu, tapi aku gak mau kamu marah aku pergi cepet banget dan aku juga
gak mau lihat kamu cemberut, sedih, soalnya kamu bakalan jelek banget, hehe.
Dion, tadi aku selipin gulungan kertas pink di ontel kamu, aku harap kamu
membacanya ya--. Aku pergi dulu, aku janji nanti aku bakalan main lagi sama
kamu, main naik sepeda ontel. Ya, jaga terus sepeda ontelnya ya… ”
0 komentar:
Posting Komentar